Ramadhan bulan penuh berkah, rahmat, dan keutamaan adalah
kesempatan emas bagi setiap muslim yang mendambakan ampunan Allah dan
surga-Nya, yang mengharap jauhnya diri dari murka Allah dan siksaNya.
Merupakan karunia Allah pada kita ketika Allah panjangkan umur kita
sampai pada bulan mulia ini, karena dengan itu berarti Allah memberikan
kepada kita peluang besar untuk menggapai maghfirah (ampunan) dan
surga-Nya. Serta peluang bagi kita untuk berusaha menyelamatkan kita
dari neraka-Nya, dimana pada bulan ini di setiap malamnya Allah
membebaskan sekian banyak orang yang mestinya menghuni neraka.
Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
Nah, untuk menggapai keutamaan tersebut tentu bukan dengan sembarang puasa, bahkan harus dengan puasa yang sesuai dengan aturannya, sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah Ta’ala yang mensyariatkan puasa. Disamping keikhlasan dalam mengamalkan ibadah ini, dorongan iman dan mengharap pahala yang itu merupakan syarat diterimanya segala amalan, juga pada garis besarnya seorang yang berpuasa harus menjauhi dua hal penting, apa itu?
Hal ini dikarenakan puasa bukan sekedar menahan dari lapar dan dahaga atau dari pembatal yang lain, seperti sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam:
Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah menerangkan: Seorang yang berpuasa adalah orang yang anggota badanya berpuasa dari perbuatan-perbuatan dosa, lisannya berpuasa dari kata dusta, kata keji, dan ucapan palsu, perutnya berpuasa dari makanan dan minuman, kemaluannya berpuasa dari bersetubuh. Bila dia berbicara, tidak berbicara dengan sesuatu yang mencacat puasanya, bila berbuat, tidak berbuat dengan suatu perbuatan yang merusak puasanya, sehingga seluruh ucapannya keluar dalam keadaan baik dan manfaat.
Demikian pula amalannya, amalannya bagai bau harum yang dicium oleh seorang yang berteman dengan pembawa minyak wangi misk, semacam itu pula orang yang berteman dengan orang yang berpuasa, ia mendapatkan manfaat dengan bermajlis (duduk) bersamanya, aman dari kepalsuan, kedustaan, kejahatan dan kezhalimannya. Inilah puasa yang disyariatkan, bukan sekedar menahan dari makan dan minum, terdapat dalam hadits yang shahih:
Menengok kepada realita ibadah puasa yang dilakukan oleh manusia, Ibnu Qudamah membagi puasa menjadi tiga:
Selanjutnya untuk menuju puasa yang terbaik sebagaimana dikehendaki Allah, maka tentu kita perlu meruju kepada bimbingan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam pengamalan ibadah ini, sungguh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan kepada kita rambu-rambu untuk kita berhati-hati dari beberapa hal sebagaimana tersebut dalam hadits-hadits berikut ini:
عن أبي هُرَيْرَةَ قال قال رسول اللَّهِ صلى الله عليه… وَلِلَّهِ عُتَقَاءُ من النَّارِ وَذَلكَ كُلُّ لَيْلَةٍ
Dari Abu Hurairah ia berkata, Rasulullah
Shallallahu ’alaihi wasallam bersabda: “…Dan Allah memiliki orang-orang
yang yang dibebaskan dari neraka, dan itu pada tiap malam (Ramadhan)”.
[Shahih, Hadits Riwayat Tirmidzi:682. Shahih Sunan Tirmidzi]
Dalam hadits lain seorang sahabat bernama Abu Umamah berkata kepada Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam:
يَا رَسُولَ اللهِ فَمُرْنِي بِعَمَلٍ أَدْخُلُ بِهِ الْجَنَّةَ قَالَ عَلَيْكَ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَا مِثْلَ لَهُ
Wahai Rasulullah maka perintahkanlah
kepadaku sebuah amalan yang aku akan masuk surga dengannya. Nabi
menjawab: “Hendaknya kamu puasa, tidak ada yang seperti puasa”. [HR Ibnu
Hibban. Lihat Mawarid Dhom’aan:1/232]
Dua keutamaan di atas menggambarkan kepada kita tentang besarnya
urusan puasa, keduanya merupakan puncak dari keutamaan puasa, dan selain
itu masih banyak lagi dari berbagai macam keutamaan sebagaimana
tersebut dalam hadits-hadits. Namun karena pembahasan kali ini bukan
dalam rangka menyingkap keutamaan puasa, sehingga apa yang di atas cukup
sebagai isyarat kepada yang lain bahwa yang kita akan bahas disini
justru bagaimanakah kita dapat menggapai segala keutamaan tersebut. Saya
menganggap hal itu yang lebih penting untuk dibahas kali ini mengingat
kita telah memasuki bulan Ramadhan dan mengingat banyaknya orang-orang
yang melalaikan hal ini.Nah, untuk menggapai keutamaan tersebut tentu bukan dengan sembarang puasa, bahkan harus dengan puasa yang sesuai dengan aturannya, sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah Ta’ala yang mensyariatkan puasa. Disamping keikhlasan dalam mengamalkan ibadah ini, dorongan iman dan mengharap pahala yang itu merupakan syarat diterimanya segala amalan, juga pada garis besarnya seorang yang berpuasa harus menjauhi dua hal penting, apa itu?
Pertama, pembatal puasa
Kedua, pembatal pahala puasa
Poin kedua inilah yang akan kita bahas sekarang, mengingat banyaknya
orang-orang yang berpuasa dan masih melalaikannya, dan mengingat
bahayanya yang besar pada ibadah puasa karena ini dapat membatalkan
pahala puasa atau paling tidaknya dapat mengurangi pahala puasa seukuran
pelanggaran yang dia lakukan, dalam kondisi seorang yang melakukannya
sering-kali tidak menyadarinya. Ini tentu suatu ancaman.Kedua, pembatal pahala puasa
Hal ini dikarenakan puasa bukan sekedar menahan dari lapar dan dahaga atau dari pembatal yang lain, seperti sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam:
لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ اْلأَكْلِ وَ الشُّرْبِ
“Bukanlah puasa itu sekedar menahan dari makan dan minum”. [Shahih, HR Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan Al-Hakim]
Yakni lebih dari itu, ada hal-hal lain yang ia harus menahan diri darinya sebagai bagian dari ibadah puasanya.Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah menerangkan: Seorang yang berpuasa adalah orang yang anggota badanya berpuasa dari perbuatan-perbuatan dosa, lisannya berpuasa dari kata dusta, kata keji, dan ucapan palsu, perutnya berpuasa dari makanan dan minuman, kemaluannya berpuasa dari bersetubuh. Bila dia berbicara, tidak berbicara dengan sesuatu yang mencacat puasanya, bila berbuat, tidak berbuat dengan suatu perbuatan yang merusak puasanya, sehingga seluruh ucapannya keluar dalam keadaan baik dan manfaat.
Demikian pula amalannya, amalannya bagai bau harum yang dicium oleh seorang yang berteman dengan pembawa minyak wangi misk, semacam itu pula orang yang berteman dengan orang yang berpuasa, ia mendapatkan manfaat dengan bermajlis (duduk) bersamanya, aman dari kepalsuan, kedustaan, kejahatan dan kezhalimannya. Inilah puasa yang disyariatkan, bukan sekedar menahan dari makan dan minum, terdapat dalam hadits yang shahih:
من لم يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ و الجهل فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ في أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Barangsiapa yang tidak meninggalkan
ucapan dusta, dan pengamalannya, serta amal kebodohan, maka Allah tidak
butuh pada amalannya meninggalkan makan dan minumnya”. [Shahih, HR
Al-Bukhari]
Dalam hadits yang lain:
وَرُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الْجُوعُ والعطش
“Bisa jadi seorang yang berpuasa, bagiannya dari puasanya hanyalah lapar dan dahaga”. [Shahih, HR Ibnu Hibban:8/257]
Maka puasa yang sebenarnya adalah puasanya anggota badan dari
perbuatan-perbuatan dosa, puasanya perut dari minum dan makan, maka
sebagaimana makanan itu akan memutus puasa dan merusaknya, demikian pula
perbuatan-perbuatan dosa akan memutus pahalanya dan merusak buahnya,
sehingga menjadikan orang yang berpuasa seperti yang tidak puasa.
[Al-Wabilushayyib:43]Menengok kepada realita ibadah puasa yang dilakukan oleh manusia, Ibnu Qudamah membagi puasa menjadi tiga:
- Puasa orang awam, yaitu sekedar menahan perut dan kemaluan dari keinginannya.
- Puasa orang khusus, yaitu menahan pandangan, lisan, tangan, kaki, pendengaran, penglihatan dan seluruh anggota badan dari perbuatan-perbuatan dosa.
- Puasa orang yang lebih khusus, yaitu puasanya kalbu dari keinginan-keinginan yang hina, pemikiran-pemikiran yang menjauhkan dari Allah dan menahan kalbu dari selain Allah secara total. [Mukhtashar Minhajul Qashidin:58]
Selanjutnya untuk menuju puasa yang terbaik sebagaimana dikehendaki Allah, maka tentu kita perlu meruju kepada bimbingan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam pengamalan ibadah ini, sungguh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan kepada kita rambu-rambu untuk kita berhati-hati dari beberapa hal sebagaimana tersebut dalam hadits-hadits berikut ini:
من لم يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ و الجهل فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ في أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Barangsiapa yang tidak meninggalkan
ucapan dusta, dan pengamalannya, serta amal kebodohan, maka Allah tidak
butuh pada amalannya meninggalkan makan dan minumnya”. [Shahih, HR Al
Bukhari]
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِنَّ
الصِّيَامَ لَيْسَ مِنَ الأَكْلِ وَالشُّرْبِ فَقَطْ إِنَّمَا الصِّيَامُ
مِنَ اللَّغُوِ وَالرَّفَثِ فَإِنْ سَابَّكَ أَحَدٌ أَوْ جَهِلَ عَلَيْكَ
فَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ
“Dari Abu Hurairah ia berkata, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya puasa itu bukan
menahan dari makan dan minum saja, hanyalah puasa yang sebenarnya adalah
menahan dari laghwu (ucapan sia-sia) dan rafats (ucapan kotor), maka
bila seseorang mencacimu atau berbuat tindakan kebodohan kepadamu
katakanlah: ‘Sesungguhnya aku sedang berpuasa’.” [Shahih, HR Ibnu
Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim, lihat kitab Shahih Targhib]
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه يقول قال رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم
قال الله وإذا كان يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فلا يَرْفُثْ ولا يَصْخَبْ
فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أو قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إني امْرُؤٌ صَائِمٌ
“Dari Abu Hurairah ia berkata bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Allah berfirman :
…maka bila pada hari puasanya seseorang di antara kalian janganlah ia
melakukan rafats dan janganlah ia yashkhab (berteriak, ribut), bila
seseorang mencacimu atau mengganggumu maka katakanlah: ‘Saya ini orang
yang sedang berpuasa…’.” [Shahih, HR Al-Bukhari]
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ لا تَسَابَّ
وَأَنْتَ صَائِمٌ وَإِنْ سَابَّكَ أَحَدٌ فَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ وَإِنْ
كُنْتَ قَائِمًا فَاجْلِسْ
“Dari Abu Hurairah dari Nabi ia bersabda:
“Janganlah kamu saling mancaci (bertengkar mulut) sementara kamu sedang
berpuasa maka bila seseorang mencacimu katakan saja: ‘Sesungguhnya saya
sedang berpuasa’, dan kalau kamu sedang berdiri maka duduklah.” [Shahih,
HR Ibnu Khuzaimah: 3/241, Nasa’i dalam Sunan Kubra: 2/241 Ibnul Ja’d:
1/411, tanpa kalimat terakhir. Imam Ahmad dalam Musnad:2/505 dan
Ath-Thayalisi dalam Musnad:1/312. Lihat Shahih Targhib]
Dari hadits-hadits di atas maka dapat kita simpulkan bahwa pembatal
pahala puasa atau yang akan menguranginya adalah sebagai berikut:- Qauluz-zur yakni ucapan dusta [Fathul Bari:4/117]
- Mengamalkan qouluz-zur yakni perbuatan yang merupakan tindak lanjut atau konsekuensi dari ucapan dusta [Fathul Bari:4/117]
- Jahl yakni amalan kebodohan [Fathul Bari:4/117]
- Rafats yakni seperti dijelaskan Al-Mundziri: Terkadang kata ini disebutkan dengan makna bersetubuh, dan terkadang dengan makna, ‘kata-kata yang keji dan kotor’ dan terkadang bermakna ‘pembicaraan seorang lelaki dan perempuan seputar hubungan sex’, dan banyak dari ulama mengatakan: ‘yang dimaksud dengan kata rafats dalam hadits ini adalah ‘kata kotor keji dan jelek’. [Shahih Targhib:1/481] dengan makna yang terakhir ini maka punya pengertian yang lebih luas dan tentu mencakup makna-makna yang sebelumnya disebutkan. –Wallahu A’lam’-
- Laghwu yakni ucapan yang tidak punya nilai atau manfaat [lihat An-Nihayah:4/257 dan Al-Mishbahul Munir:555] dan –wallahu a’lam- mencakup juga amalan yang tidak ada manfaatnya [lihat semakna dengannya kitab Faidhul Qodir:6228]
- Shakhab yakni bersuara keras dan ribut dikarenakan pertikaian [An-Nihayah:3/14, Lisanul Arab:1/521] Asy-Syaikh Al-Albani mengatakan: Yakni jangan berteriak dan jangan bertikai [catatan kaki Mukhtashar Shahih al-Bukhari:443]
- Bertengkar mulut
عَنِ
بْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ فَرَضَ رَسُولُ اللهِ صلى
الله عليه وسلم زَكَاةَ الفِطْرِ طُهْرَةً للِصَّياَمِ مِنَ اللّْغْوِ
وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِيْنِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ
فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُوْلَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِيَ
صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ
Dari Ibnu Abbas ia berkata: “Rasulullah
mewajibkan zakat fitrah sebagai pensuci bagi puasa dari laghwu dan
rafats dan sebagai pemberian makan untuk orang-orang miskin, maka
barangsiapa yang menunaikannya sebelum shalat (iedul Fitri) maka itu
zakat yang diterima. Dan barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat,
maka itu adalah sebagai sedekah dari sedekah-sedekah yang ada” [HR
Al-Hakim dalam kitab Al-Mustadrak dan beliau mengatakan: Shahih sesuai
syarat Al-Bukhari namun Al-Bukhari dan Muslim tidak meriwayatkannya]
Semoga bermanfaat, Wallahu a’lam…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar